Halaman

Balita Meninggal Ditabrak Mopen L300 di Batee Iliek Bireuen

apa kabar berita BIREUEN – Seorang anak usia di bawah lima tahun (balita) bernama Mulyana (4,5-tahun) meninggal dunia dalam kasus tabrakan di ruas jalan nasional kawasan Gampong Batee Iliek, Samalanga Bireuen sekitar pukul 12.20 WIB, Senin (10/06/2019).

Bahan Makanan, Sandang, dan Transpor Penyumbang Inflasi Tertinggi di Aceh

Toko pakaian jadi di Bireuen, Rabu (29/5/2019) dini hari masih diserbu pembeli. Harga celana panjang jeans dan baju kaos berkerah pria ikut ikut andil menyumbang inflasi di Aceh.

Aceh Culinary Festival 2019 Angkat Tema 'Citarasa Otentik' Rabu, 22 Mei 2019 22:54

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Mudik Rasa Wisata

OLEH AYU ‘ULYA, Anggota Forum Aceh Menulis (FAMe) Banda Aceh, melaporkan dari Pidie Jaya

Sensasi Menelusuri Sungai Terpanjang di Aceh

OLEH WANHAR LINGGA, pengamat pariwisata dan Anggota Forum Aceh Menulis (FAMe) Banda Aceh, melaporkan dari Singkil

Senin, 10 Juni 2019

Sensasi Menelusuri Sungai Terpanjang di Aceh

OLEH WANHAR LINGGA, pengamat pariwisata dan Anggota Forum Aceh Menulis (FAMe) Banda Aceh, melaporkan dari Singkil

TERIK matahari pada Rabu (29/5/2019) siang itu sangat menyengat, tapi tidak menyurutkan semangat kami untuk menelusuri Lae Soraya, sungai terpanjang di Aceh. Sungai ini hulunya di Aceh Tenggara, hilirnya di Singkil, Kabupaten Aceh Singkil. Jelas panjang, karena sungai ini melintasi empat wilayah, mulai dari Aceh Tenggara, Gayo Lues, Kota Subulussalam, dan Aceh Singkil, lalu bermuara di kawasan Pasie Tangah, Kecamatan Singkil.

Uniknya, sungai ini memiliki beberapa nama. Di Gayo Lues, masyarakat menyebutnya dengan Aih Agusen atau Aih Betong; di Aceh Tenggara, sungai ini bernama Lawe Alas. Sedangkan di Aceh Singkil dan Kota Subulussalam

sungai yang sama disebut Lae Soraya atau Sungai Singkil. Penulisannya pun beragam. Ada yang menulis Lae Souraya, ada pula Lae Sukhaya.
Berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2012 tentang Penetapan Wilayah Sungai, Aceh memiliki sembilan wilayah sungai besar. Salah satunya adalah wilayah Sungai Alas-Singkil yang luasnya mencapai 10.090,13 kilometer persegi.

Perjalanan menelusuri sungai ini kami tempuh dengan menggunakan perahu panton (rakit). Di sepanjang bantaran sungai inilah masyarakat Singkil ( Aceh Singkil-Kota Subulussalam) sejak dahulunya memulai peradaban. Tapi kini hampir 80% penduduk setempat pindah ke daerah yang agak jauh dari DAS akibat faktor bencana alam, terutama untuk menghindari banjir bandang dan terutama banjir luapan yang kerap terulang.

Pun demikian, dalam lawatan naik sampan ini kami masih menemukan sekitar 14 perkampungan di pinggir sungai yang masih dihuni penduduk, yakni Kampung Dah, Sibuasen, Sibungkai, Panglima Saman, Muara Batu-Batu, Runding, Belukur , Binanga, Kuta Beringin, Siperkas, Oboh, Longkib, Sepang, dan Kampung Lentong.

Sepanjang perjalanan menyusuri sungai ini kami saksikan kearifan lokal masyarakat yang masih menggunakan moda transportasi bungki (perahu). Keceriaan anak-anak yang mandi di sungai menjadi pemandangan yang sangat sulit kita temukan di era modern ini. Menjadi lebih spesifik karena ternyata hampir setiap rumah masih memiliki tempat mandi dan mencuci di sungai yang justru berada di depan rumah mereka.

Selain itu, kami juga disuguhi pemandangan yang masih asri dengan jajaran pohon kelapa yang menambah keindahan pinggiran Lae Soraya. Selain pohon kelapa, di bantaran sungai ini juga banyak ditanami pohon kelapa sawit, sebagai usaha masyarakat setempat.

Tiba waktu azan Zuhur, perjalanan kami hentikan sejenak untuk menunaikan shalat di Kampong Oboh. Di Oboh inilah tempat ulama karismatik Aceh, Syeikh Hamzah Fansyuri dimakamkan. Selesai menunaikan shalat Zuhur perjalanan kami lanjutkan kembali. Ini bukan saja perjalanan mengasyikkan, tapi juga melelahkan karena dari Singkil ke arah hulu sungai arusnya deras dan kami harus melawan arus.

Bercerita tentang kejayaan masyarakat di Bumi Syekh Abdurrauf As-Singkily ini, tidak dapat dipungkiri bahwa orang-orang yang sukses sekarang di Pemerintah Kota Subulussalam dan Kabupaten Aceh Singkil dahulunya kebanyakan juga hidup di pinggir Lae Soraya yang menjadi urat nadi perekonomian Singkil ketika jalan darat Singkil-Sumatera Utara belum tembus di bawah tahun 1984.

“Sepanjang Lae Soraya inilah kehidupan masyarakat Singkil dimulai, semua perumahan masyarakat dahulunya tinggal di sepanjang bantaran sungai, namun kini sudah banyak yang pindah,” kata Hasan Basri Lingga yang menahkodai sampan bermesin yang kami tumpangi.

Dia juga orang yang sudah berpengalaman melewati jalur sungai puluhan tahun lalu sejak Singkil masih menjadii bagian dari Kabupaten Aceh Selatan.

Menariknya, dalam perjalanan yang kami tempuh selama kurang lebih lima jam tidak satu ekor buaya pun yang kami temukan. Padahal, biasanya di sungai inilah buaya-buaya sungai sering menampakkan dirinya. Saking banyaknya bahkan ada satu kampung di sini yang diberi nama Kampung Lapahan Buaya. Artinya, tempat berkumpulnya buaya. Apa mungkin karena sedang bulan puasa, buaya-buayanya itu ogah mencari mangsa sehingga mereka tak terlihat seekor pun. Padahal, Lae Soraya dihuni oleh sedikitnya 3.000 buaya berbagai ukuran.

Di balik perjalanan kami, masih tersimpan misteri menarik bagaimana awal mula masuknya masyarakat Singkil zaman dahulu ke kawasan ini, lalu membangun peradaban di sepanjang DAS Lae Soraya ini.

Dulu di sepanjang aliran sungai ini banyak ditemukan lampung alias kedai terapung. Saat menempuh perjalanan jauh menyusuri sungai orang biasanya mampir di kedai terapung tersebut. Katakanlah, misalnya untuk menyeruput kopi atau singgah untuk menumpang shalat dan makan siang.

Tak jarang pula di lampung ini terdapat penggilangan tebu yang digerakkan oleh arus sungai. Air tebu tersebut biasanya dimasak menjadi manisan atau gula tebu. Tapi belakangan, pemandangan seperti ini semakin langka. Mungkin karena warga DAS lebih tertarik pada gula impor. Hehehe.

Di sepanjang DAS ini juga sering kita temukan orang yang memancing atau menjaring ikan dan udang sungai. Kalau sedang mujur, Anda bisa membelinya dengan harga murah.

Nah, Anda yang bermukim di luar Aceh Singkil dan Kota Subulussalam yang hobi bertualang menyusuri sungai, Lae Soraya ini saya rekomendasi kepada Anda untuk mencoba sensasi arusnya. Selamat mencoba.

Mudik Rasa Wisata

OLEH AYU ‘ULYA, Anggota Forum Aceh Menulis (FAMe) Banda Aceh, melaporkan dari
Pidie Jaya

PERAYAAN Lebaran di Indonesia, tak terkecuali di Aceh tanoh lon sayang, sangatlah identik dengan tradisi mudik alias pulang kampung dan liburan. Suasana itu pula yang kental terasa saat menyambut Hari Raya Idulfitri tahun 2019 ini, 1 Syawal 1440 Hijriah yang di Indonesia bertepatan dengan tanggal 5 Juni 2019.

Menjelang 1 Syawal lalu, saya beserta keluarga memutuskan pulang kampung ke Pidie Jaya. Seperti biasa, jika melakukan perjalanan dari Banda Aceh menuju Pidie Jaya (Pijay) maka terdapat beberapa opsi transportasi. Namun, moda transportasi yang paling kerap kami gunakan adalah mibibus L-300 atau sepeda motor (sepmor).

Secara pribadi saya lebih senang pulang kampung, menelusuri jalan nasional Banda Aceh-Medan, naik sepmor. Alasannya sederhana, saya bisa dengan leluasa menikmati pemandangan alam yang tersaji sepanjang perjalanan plus bisa berhenti di mana saja untuk berselfie ria, mengabadikan momen unik dan menarik selama perjalanan.

Nah, sensasi seru itulah yang saya rasakan saat bertolak dari Banda Aceh menuju Pijay pada hari Minggu (2/6/2019) lalu. Alhamdulillah, tanpa kendala apa pun di jalanan, bahkan sangat mengasyikkan, saya sudah tiba di Pijay dan dapat merayakan Idulfitri bersama keluarga besar di sini. Atas keselamatan dan kenyamanan yang saya rasakan saat mudik naik sepmor tersebut saya rasa pantas jika saya berbagi tips dengan pembaca.

Terutama bagi mereka yang memilih sepmor sebagai kendaraan untuk pulang kampung, maupun saat balik nanti ke Banda Aceh. Nah, ketika menelusuri jalan Banda Aceh-Medan, ada beberapa hal yang penting untuk diperhatikan. Pertama, pastikan kendaraan Anda dalam keadaan prima, lengkapi surat-suratnya (seperti SIM dan STNK), dan jangan lupa pakai helm.

Selain itu, kestabilan kondisi tubuh juga harus dijaga (dengan cara mengenakan helm, jaket, sarung tangan, masker mulut, dan kaus kaki selama perjalanan), serta pastikan tubuh mendapatkan air dan asupan gizi yang cukup selama di perjalaan. Apalagi saat arus balik nanti seluruh warung dan kafe di sepanjang jalan Banda Aceh-Medan sudah buka dan Anda tak perlu khawatir kelaparan maupun dehidrasi.

Menempuh perjalanan sejauh 169km dari Banda Aceh menuju Pijay, dengan mengendarai sepmor pastilah melelahkan. Oleh karenanya, pemilihan waktu pagi hari untuk memulai perjalanan sangatlah disarankan. Di samping itu, jika lelah dan kantuk tiba-tiba mendera segeralah ambil posisi untuk istirahat sejenak.

Kita dapat rehat gratis di dipan-dipan kayu atau bale yang mudah ditemukan di beberapa spot khusus selama perjalanan sembari menikmati pemandangan alam dan sejuknya semilir angin sepoi-sepoi. Namun, jika lamat-lamat diperhatikan, perjalanan sejauh itu tidaklah membosankan sama sekali.

Dibandingkan dianggap sebagai mudik, perjalanan menelusuri jalan Banda Aceh-Medan serasa layaknya pelesiran atau piknik belaka. Bagaimana tidak, bak kata pepatah, sekali merengkuh dayung dua-tiga pulau terlampaui, maka sekali menelusuri jalan Banda Aceh-Medan kita dapat menikmati aneka rupa pemandangan. Misalnya, rumoh Aceh berbentuk panggung di sepanjang sisi jalan Gampong Lon Asan maupun berbagai model mobil-mobil besar (Fuso, Tronton, trailer, dan sebangsanya) yang berlalu lalang sepanjang jalan Banda Aceh-Medan.

Bisa juga kita jalan sambil menikmati berbagai buah dan tumbuhan segar yang dijajakan oleh penduduk di kawasan Saree, Aceh Besar, dan bahkan gerombolan lembu yang sedang berjemur dan memamah santai sisa-sisa padi di sawah pascapanen di kawasan Pidie.

Hal yang lebih mengasyikkan adalah ketika kita sadari bahwa perjalanan tersebut mampu menghadirkan pemandangan, tidak hanya indahnya gunung dan lembah, tapi juga prosesi bertumbuhnya padi dalam sekali lalu, dari sawah yang kosong hingga panen dan lahannya yang dibajak kembali. Pemandangan rural dan agraris seperti ini tentunya tak mudah lagi kita dapatkan di kota-kota yang sisa lahan sawahnya justru hampir semua dikonversi menjadi kompleks perumahan.

Hal yang sama juga terjadi dalam laju yang tak terkendalikan di Kota Banda Aceh bahkan di Aceh Besar yang dulunya tercatat sebagai salah satu lumbung padi Aceh, selain Pidie. Saat melintasi wilayah Samahani kita juga dapat menikmati hamparan padi yang menguning sempurna dan dalam proses panen. Kemudian, terhampar pula padi-padi kuning keemasan yang mulai matang di daerah Cot Geulumpang dan hamparan indah bibit padi hijau yang ditanam rapat bak permadani di Beureunuen.

Pendeknya, ragam pandang proses padi bertumbuh hingga memasuki fase panen di sepanjang “jalan kenangan” ini jika kita resapi secara mendalam, ia laksana serial animasi pertumbuhan padi dalam dunia nyata. Asyik sekali. Oleh karenanya, sebagai penduduk lokal, sesekali tak salahnya kita pertajam kepekaan lingkungan dan skill “mata wisatawan” di antara kita. Saya rasa itu perlu supaya kita tetap rileks sembari mensyukuri setiap jengkal anugerah Allah kepada ita hamba-Nya di bumi subur yangbernama Aceh. Bisa jadi hal yang terlalu sering kita perhatikan dan rasakan sebagai rutinitas belaka, lalu telanjur kita abaikan karena tampak biasa, sebenarnya tidak sebiasa itu.

Pasti ada hal-hal luar biasa bahkan hikmah di balik itu. Kembalilah bersahabat dengan alam dan rasakan sensasinya yang tidak biasa, sekalipun hanya dalam perjalanan sejauh 169 kilometer dari Banda Aceh ke Pijay atau sebaliknya.Akhirnya, selamat mudik bagi yang akan mudik dalam suasana Lebaran dan selamat kembali bagi yang sudah puas mudik di kampung.
Di mana pun Anda, selamat merayakan hari kemenangan. Semoga tiba dengan selamat ke tujuan dan sempatkan menikmati indahnya perjalanan. Tetap hati-hati, sebab di jalan ang muluslah orang sering terlena dan celaka. Di jalan yang mulus pula sebutir kerikil acap menyebabkan petaka.



Aceh Culinary Festival 2019 Angkat Tema 'Citarasa Otentik' Rabu, 22 Mei 2019 22:54

APA KABAR ACEH - Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Aceh memilih 'The Authentic Food Experience' sebagai tema even kuliner tahunan ini.

Aceh Cullinary Festival 2019 akan diselenggarakan di Taman Sulthanah Safiatuddin, Lampriek, Banda Aceh, (5-7/5/2019).

"Kita memiliki 8 etnis yang tersebar di 23 kabupaten dan kota. Jadi jenis kuliner kita sangat banyak, unik, dan otentik. Ini yang coba kita jaga dan lestarikan”, jelas Jamaluddin, Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh, Jamaluddin dalam siaran pers yang diterima Serambinews.com, Rabu (22/5/2019).

Festival yang akan diselenggarakan selama 3 hari ini akan diisi berbagai acara menarik seputar kuliner. Di antaranya The Food Market, pameran kuliner yang menawarkan 1000 macam variasi makanan dan minuman di 6 zona utama.

Zona tersebut yaitu Zona Rumoh Makan Aceh, Aceh Food Market, Nusantara Food Market, The World Gourmet, Fusion Food, dan Food Innovation. 

Ada lagi berbagai kelas menarik seputar kuliner akan mengisi kegiatan Culinary Camp yang berisi 50 sesi demo masak, workshop, dan diskusi mengenai kuliner.

Kelas-kelas kuliner ini akan menambah pengetahuan pengunjung tentang kuliner Aceh mulai dari bahan baku, bumbu, hingga proses memasak serta cerita di balik hidangan istimewa tersebut.

Untuk itu, kata Jamaluddin, pihaknya mendatangkan ahli kuliner mulai dari chef, researcher, food eriter, food vlogger, blogger, food photographer, gastronomist, food stylist, hingga mixologist berskala lokal, nasional, dan internasional guna mengisi acara tersebut.

Festival Kuliner Aceh tidak lengkap rasanya tanpa ajang khanduri.

Khanduri adalah budaya makan bersama yang sangat kental di Aceh. Hampir semua siklus hidup masyarakat Aceh dirayakan dengan khanduri. 

"Tahun ini pun, panitia telah menyiapkan berbagai khanduri yang bisa dinikmati pengunjung secara gratis. Salah satunya adalah Khanduri Bu Prang, santapan khas sarapan di Aceh," imbuh Jamaluddin. (*)

Balita Meninggal Ditabrak Mopen L300 di Batee Iliek Bireuen


apa kabar berita BIREUEN – Seorang anak usia di bawah lima tahun (balita) bernama Mulyana (4,5-tahun)  meninggal dunia dalam kasus tabrakan di ruas jalan nasional kawasan Gampong Batee Iliek, Samalanga Bireuen sekitar pukul 12.20 WIB, Senin (10/06/2019).
Mulyana merupakan anak dari pasangan Yusri (45) dan Yusrawati (31) warga Desa  Lancok Mesjid Lueng Putu, Pidie Jaya
Keterangan yang diperoleh Serambinews.com dari anggota Satlantas dan sumber lainnya menyangkut kejadian meninggalnya anak masih kecil tersebut.
Saat itu ia bersama orang tuanya dengan sepeda motor Yamaha R15 BL 4911 OH datang dari arah Banda Aceh menuju arah Medan.
Dalam perjalanan itu mereka melewati jembatan Krueng Batee Iliek mereka berhenti di dibawah satu pohon pinggir jalan  berjarak sekitar 500 meter lebih sebelah timur jembatan Batee Iliek.
Kemudian kedua orang tuanya turun dari sepeda motor, sedangkan korban (Mulyana) masih duduk atau berada di atas sepeda motor.
Tanpa diduga satu unit mobil penumpang L-300 BL 1288 AN dari arah yang sama (belakang) hilang kendali dan menabrak beton/semen di pinggir jalan.
Setelah tabrakan tersebut kendaraan penumpang terus melaju dan menabrak sepeda motor yang diparkir di bawah pohon mengakibatkan balita mengalami luka berat.
Korban segera dibawa ke Puskesmas Samalanga dan meninggal dunia dalam penanganan medis sekitar pukul 13.00 WIB, Senin (10/06/2019).
“Benar seorang anak kecil (balita) meninggal dunia di Puskesmas Samalanga akibat tabrakan, jenazah sudah dibawa pulang ke rumah duka di Lueng Putu,” kata seorang petugas medis Puskesmas Samalanga. (*)




Bahan Makanan, Sandang, dan Transpor Penyumbang Inflasi Tertinggi di Aceh


Toko pakaian jadi di Bireuen, Rabu (29/5/2019) dini hari masih diserbu pembeli. Harga celana panjang jeans dan baju kaos berkerah pria ikut ikut andil menyumbang inflasi di Aceh. 

Apa Kabar aceh, banda aceh Pada Mei 2019 inflasi yang terjadi di Aceh gabungan dari tiga kota Banda Aceh, Lhokseumawe, dan Meulaboh cukup tinggi sebesar 1,27 persen.
Pemicu inflasi paling tinggi  disebabkan oleh naiknya indeks harga konsumen pada kelompok bahan makanan sebesar 3,83 persen, sandang 2,38 persen, dan transpor, komunikasi  serta jasa keuangan 0,55 persen.
"Inflasi yang terjadi di Aceh cukup tinggi, karena sebelumnya kita berharap inflasi yang terjadi tidak lebih dari satu persen. Angka inflasi Aceh pada Mei 2019 berada diatas nasional, inflasi nasional 0,68 persen sementara Aceh 1,27 persen," kata Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Aceh, Wahyudin MM dalam Berita Resmi Statistik, di Aula BPS setempat, Senin (10/6/2019).
Wahyudin menjelaskan tingginya angka inflasi Aceh pada Mei 2019 disebabkan oleh meningkatnya harga pada kelompok bahan makanan. Yaitu ada beberapa komoditas yang memberikan andil dominan terhadap peningkatan indeks, seperti dencis, cumi-cumi, pepaya, cabai merah, dan jeruk.
Sedangkan pada kelompok sandang, komoditas yang memberikan andil terhadap inflasi adalah baju anak stelan, baju kaos berkerah, celana panjang jeans, baju kaos berkerah pria, dan baju muslim.

Sementara pada kelompok transpor, komunikasi dan jasa keuangan inflasi disumbang oleh angkutan udara, tarif pulsa ponsel, mobil, angkutan antar kota, dan ban dalam motor.
"Harga angkutan udara masih menjadi penyumbang inflasi. Bagi yang mudik akan terasa sekali dengan kenaikan harga tiket pesawat ini, ada yang memilih dari Jakarta ke Malaysia dulu karena harganya lebih murah, sebelum ke Banda Aceh. Artinya masyarakat masih merasakan tingginya harga tiket pesawat domestik," sebutnya
Ia berharap ke depan inflasi yang terjadi Aceh dapat dikendalikan, maka diperlukan peran Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) tingkat provinsi, dan kabupaten/kota untuk menjaga kestabilan harga di Aceh. (*)

Artikel ini telah tayang di https://beritaberitaseputaraceh.blogspot.com/dengan judul Bahan Makanan, Sandang, dan Transpor Penyumbang Inflasi Tertinggi di Aceh,