OLEH WANHAR LINGGA, pengamat pariwisata dan Anggota Forum Aceh Menulis (FAMe) Banda Aceh, melaporkan dari SingkilTERIK matahari pada Rabu (29/5/2019) siang itu sangat menyengat, tapi tidak menyurutkan semangat kami untuk menelusuri Lae Soraya, sungai terpanjang di Aceh. Sungai ini hulunya di Aceh Tenggara, hilirnya di Singkil, Kabupaten Aceh Singkil. Jelas panjang, karena sungai ini melintasi empat wilayah, mulai dari Aceh Tenggara, Gayo Lues, Kota Subulussalam, dan Aceh Singkil, lalu bermuara di kawasan Pasie Tangah, Kecamatan Singkil.
Uniknya, sungai ini memiliki beberapa nama. Di Gayo Lues, masyarakat menyebutnya dengan Aih Agusen atau Aih Betong; di Aceh Tenggara, sungai ini bernama Lawe Alas. Sedangkan di Aceh Singkil dan Kota Subulussalam
sungai yang sama disebut Lae Soraya atau Sungai Singkil. Penulisannya pun beragam. Ada yang menulis Lae Souraya, ada pula Lae Sukhaya.
Berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2012 tentang Penetapan Wilayah Sungai, Aceh memiliki sembilan wilayah sungai besar. Salah satunya adalah wilayah Sungai Alas-Singkil yang luasnya mencapai 10.090,13 kilometer persegi.
Perjalanan menelusuri sungai ini kami tempuh dengan menggunakan perahu panton (rakit). Di sepanjang bantaran sungai inilah masyarakat Singkil ( Aceh Singkil-Kota Subulussalam) sejak dahulunya memulai peradaban. Tapi kini hampir 80% penduduk setempat pindah ke daerah yang agak jauh dari DAS akibat faktor bencana alam, terutama untuk menghindari banjir bandang dan terutama banjir luapan yang kerap terulang.
Pun demikian, dalam lawatan naik sampan ini kami masih menemukan sekitar 14 perkampungan di pinggir sungai yang masih dihuni penduduk, yakni Kampung Dah, Sibuasen, Sibungkai, Panglima Saman, Muara Batu-Batu, Runding, Belukur , Binanga, Kuta Beringin, Siperkas, Oboh, Longkib, Sepang, dan Kampung Lentong.
Sepanjang perjalanan menyusuri sungai ini kami saksikan kearifan lokal masyarakat yang masih menggunakan moda transportasi bungki (perahu). Keceriaan anak-anak yang mandi di sungai menjadi pemandangan yang sangat sulit kita temukan di era modern ini. Menjadi lebih spesifik karena ternyata hampir setiap rumah masih memiliki tempat mandi dan mencuci di sungai yang justru berada di depan rumah mereka.
Selain itu, kami juga disuguhi pemandangan yang masih asri dengan jajaran pohon kelapa yang menambah keindahan pinggiran Lae Soraya. Selain pohon kelapa, di bantaran sungai ini juga banyak ditanami pohon kelapa sawit, sebagai usaha masyarakat setempat.
Tiba waktu azan Zuhur, perjalanan kami hentikan sejenak untuk menunaikan shalat di Kampong Oboh. Di Oboh inilah tempat ulama karismatik Aceh, Syeikh Hamzah Fansyuri dimakamkan. Selesai menunaikan shalat Zuhur perjalanan kami lanjutkan kembali. Ini bukan saja perjalanan mengasyikkan, tapi juga melelahkan karena dari Singkil ke arah hulu sungai arusnya deras dan kami harus melawan arus.
Bercerita tentang kejayaan masyarakat di Bumi Syekh Abdurrauf As-Singkily ini, tidak dapat dipungkiri bahwa orang-orang yang sukses sekarang di Pemerintah Kota Subulussalam dan Kabupaten Aceh Singkil dahulunya kebanyakan juga hidup di pinggir Lae Soraya yang menjadi urat nadi perekonomian Singkil ketika jalan darat Singkil-Sumatera Utara belum tembus di bawah tahun 1984.
“Sepanjang Lae Soraya inilah kehidupan masyarakat Singkil dimulai, semua perumahan masyarakat dahulunya tinggal di sepanjang bantaran sungai, namun kini sudah banyak yang pindah,” kata Hasan Basri Lingga yang menahkodai sampan bermesin yang kami tumpangi.
Dia juga orang yang sudah berpengalaman melewati jalur sungai puluhan tahun lalu sejak Singkil masih menjadii bagian dari Kabupaten Aceh Selatan.
Menariknya, dalam perjalanan yang kami tempuh selama kurang lebih lima jam tidak satu ekor buaya pun yang kami temukan. Padahal, biasanya di sungai inilah buaya-buaya sungai sering menampakkan dirinya. Saking banyaknya bahkan ada satu kampung di sini yang diberi nama Kampung Lapahan Buaya. Artinya, tempat berkumpulnya buaya. Apa mungkin karena sedang bulan puasa, buaya-buayanya itu ogah mencari mangsa sehingga mereka tak terlihat seekor pun. Padahal, Lae Soraya dihuni oleh sedikitnya 3.000 buaya berbagai ukuran.
Di balik perjalanan kami, masih tersimpan misteri menarik bagaimana awal mula masuknya masyarakat Singkil zaman dahulu ke kawasan ini, lalu membangun peradaban di sepanjang DAS Lae Soraya ini.
Dulu di sepanjang aliran sungai ini banyak ditemukan lampung alias kedai terapung. Saat menempuh perjalanan jauh menyusuri sungai orang biasanya mampir di kedai terapung tersebut. Katakanlah, misalnya untuk menyeruput kopi atau singgah untuk menumpang shalat dan makan siang.
Tak jarang pula di lampung ini terdapat penggilangan tebu yang digerakkan oleh arus sungai. Air tebu tersebut biasanya dimasak menjadi manisan atau gula tebu. Tapi belakangan, pemandangan seperti ini semakin langka. Mungkin karena warga DAS lebih tertarik pada gula impor. Hehehe.
Di sepanjang DAS ini juga sering kita temukan orang yang memancing atau menjaring ikan dan udang sungai. Kalau sedang mujur, Anda bisa membelinya dengan harga murah.
Nah, Anda yang bermukim di luar Aceh Singkil dan Kota Subulussalam yang hobi bertualang menyusuri sungai, Lae Soraya ini saya rekomendasi kepada Anda untuk mencoba sensasi arusnya. Selamat mencoba.


0 komentar:
Posting Komentar